Ada beberapa pro dan kontra mengenai istilah virtual assistant dan virtual (or remote) worker. Saya pun tak ketinggalan mendapatkan pertanyaan yang sama dari mereka yang berminat untuk menjelajahi bidang yang satu ini.
Hari ini, saya, yang lagi pengen bermalas ria dan mengumpulkan nyawa akibat 4 hari terakhir dikejar deadline “tugas” dadakan, baru saja terbangun (lagi) dini hari tadi ketika salah seorang rekan di Indonesia menanyakan kembali mengenai hal ini. Melalui offline messages di jendela kecil IM saya, dia menanyakan, “Apa bedanya virtual assistant dengan virtual worker? Kok tarifnya beda ya?”
Saya tidak cukup pintar untuk membuat suatu definisi. Dalam benak saya, virtual worker, atau kadang disebut juga sebagai remote worker, secara gamblang dapat diartikan sebagai mereka yang bekerja di luar batas-batas kerja ruang dan waktu. Mereka bisa dimana saja dan kapan saja melakukan pekerjaan yang sedang dibebankan kepada mereka.
Salah satu karaketristik yang utama dari virtual worker adalah mereka biasanya bernaung di satu atau lebih perusahaan yang memasarkan jasa mereka. Para virtual worker ini (biasanya) juga tidak perlu memasarkan jasa maupun kemampuan yang mereka miliki secara langsung. Perusahaan dimana mereka bernaung inilah yang melakukannya dengan sedikit imbalan tentunya. Dan ini (biasanya pula) dipotong dari tiap project yang didapatkan. Saya rasa, banyak sudah perusahaan dari India yang menawarkan jasa semacam ini. Dan akhir-akhir ini banyak perusahaan dari Philipina juga mengikutinya.
Di sisi lain, virtual assistant adalah mereka yang bekerja secara individu (secara virtual). Mereka ini adalah self-employed, sebagai pemilik usaha sekaligus juga pekerja. Sebagai pemilik usaha, mereka bertanggung jawab terhadap semua operasional yang ada termasuk dari sisi pemasaran, project management sampai dengan finansial. Sebagai pekerja, mereka adalah individu yang memang harus menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka.
Dari keterangan diatas, masih ada pertanyaan tersisa. Sama-sama virtual, apa bedanya?
Ya.. walau ada perbedaan di sisi self-employed dan non-self-employed, secara pekerjaan, bisa dikata bahwa baik virtual worker maupun virtual assistant memiliki ruang kerja yang sama, bekerja secara virtual. Masalahnya adalah virtual worker sering menyebut dirinya sebagai virtual assistant. Di lain pihak, virtual assistant (sering) tidak mau menyebut dirinya sebagai virtual worker.
Kenapa bisa begitu?
Virtual assistant (biasanya) memiliki tarif yang lebih tinggi dibanding dengan para virtual worker. Mereka ini biasanya sudah memiliki jam terbang (profesionalisme) yang sudah lumayan tinggi dan bukan anak kemaren sore yang baru masuk ke dunia profesionalisme yang ditekuninya, apapun itu. Hal ini tentunya bukan berarti bahwa virtual worker itu tidak berpengalaman lho ya? ..
Bagi virtual assistant, pengakuan dengan menyebut dirinya sebagai virtual worker sama saja dengan “menurunkan derajat” dari apa yang sedang digelutinya. Selain itu, emblem virtual assistant bagi mereka bisa berarti lebih. Jaminan dari kualitas hasil kerja yang lebih bagus dan selesai sesuai dengan deadline yang diberikan, misalnya.
O ya.. satu lagi, virtual assistant ini dalam melakukan pekerjaanya adalah seperti bagian yang tidak terpisahkan dengan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan yang memperkerjakannya. Walau mereka bukan karyawan secara langsung, mereka biasanya memiliki visi untuk turut mensukseskan tujuan bisnis yang ingin dicapai oleh perusahaan yang bersangkutan. Bukan seperti beli putus atau hire by project seperti yang biasa dilakukan dengan virtual worker.
0 comments
Post a Comment